Hey, what's up??
Big day for you today, cause it's a present, bro'...


Minggu, 18 Juni 2023

Lusi, Gadis Pantry


 Di balik pintu kaca pantry yang silau oleh bayangan lampu dari lobi, ada sosok seorang gadis belia duduk anggun berbalut seragam kemeja putih dan celana hitam, wajahnya yang mungil dan cerah mampu mengalihkan pandangan beberapa orang pria yang sedang memasuki pintu lobi atau yang sedang menuju pintu lift apartemen. Sesekali datang menggoda anak-anak cleaning servis atau karyawan maintenance diwaktu luang demi menarik hati si gadis belia. 

Sementara di belakang sana, di sebuah ruang kecil bersebelahan dengan ruang pantry, ruang toilet untuk tamu apartemen, ada seorang remaja laki-laki sedang gelisah dilanda kasmaran dengan gadis pantry. Hari ini ia berencana mengutarakan perasaan yang ia pendam sejak  pertama mengenalnya. 

Setangkai bunga mawar plastik berwarna merah yang ia pilih di pasar Mayestik, Jakarta Selatan, untuk persiapan nembak gebetannya lengkap dengan secarik kertas berisi puisi.

Di depan kaca toilet, ia berbicara dengan bayangannya berulang-ulang menghafal dialog yang akan ia utarakan untuk gadis pantry. 

"Lusi, maukah kau menjadi milikku?"

"Ah.. Jangan"

"Lusi, sudikah kau menerima aku sebagai kekasihmu?"

"Lusi..."

"Lu...."

"Permisi, mas"

Tiba-tiba pintu terbuka oleh seorang tamu yang hendak menggunakan toilet.

"Ia, Pak. Silahkan".

Ia pun keluar dari ruang tersebut sembari dusting lantai lobi sambil sesekali melirik ke arah pantry.

Tanpa disadari, tiba-tiba saja ia sudah berada di ruangan pantry dan tepat berdiri di depan Lusi, gadis pantry.

" Hi, Lusi. Lagi ngapain?"

"Hi, juga. Biasa, lagi nunggu customer ".

Darah mendesir.. Napasnya putus nyambung namun beringas tak beraturan.

Dihelanya napas panjang sekali lalu berusaha tenang. Lusi yang masih sibuk dengan jarinya mengetik tuts handphonenya, sedikit tidak peduli dengan keadaan si cowok itu yang lesu memandang parasnya yang jelita.

" Lusi..."

"Iya, kenapa, Min?"

"Penyanyi idola loe siapa?" 

"Hmmm.. Siapa ya? Ga nentu sih, gw mah suka lagunya siapa aja"

"Ari Laso, suka?"

"Ga terlalu sih"

"Loe tau kan lagu dia yang... 'selama.. jantungku masih berdetak'...?"

Ia berusaha menyanyikannya sebagus mungkin lagu favorit yang sering dinyanyikannya di kosan. 

"Oh.. Suka"

Yamin tersenyum lega sambil menunduk.

Hening sejenak. 

Lusi kembali memandang handphonenya. Si Yamin merasa cemburu dengan handphone itu.

"Ya, udah, ya. Gw lanjut kerja dulu".

" OK, Min".

Ia kembali ke ruang toilet lagi, mengecek ulang bunga yang ia simpan apakah masih aman berada di belakang pintu, di balik tangkai mop. 

Diambilnya bunga itu dan dimasukan ke dalam kantong celana sebelah kanan dengan hati-hati. Puisi yang ia tulis sejak semalam terlipat rapi di kantung kemejanya.

Dibukanya pintu toilet, lalu berdiri sejenak dan menarik napas panjang dan membuangnya penuh semangat. Hwwuuuf...!!!!

Pagi itu, suasana lobi depan pantry tidak terlalu ramai seperti biasanya, karena hari itu adalah weekend. Hanya ada seorang petugas front office sedang mengobrol dengan dua orang asisten rumah tangga. 

Tanpa basa-basi, dan tanpa peduli sedang dilihat oleh orang-orang itu, Yamin bergegas masuk ke dalam pantry dan menyerahkan sepucuk surat berisi puisi kepada Lusi. 

"Apa ini?"

"Kamu baca", balasnya tegas bercampur gugup.

Lusi membaca surat itu tanpa suara. Ekspresinya sedikit heran. 

"Ini maksudnya apa, Min?"

Sekonyong Yamin berlutut dengan satu kakinya berbarengan dengan disodorkan ke hadapan Lusi sekuntum bunga mawar plastik warna merah yang dipilihnya di pasar Mayestik, Jakarta selatan. Tanpa rasa malu, karena malu sudah ia titipkan di kamar kosan sejak semalam diantara rapalan doa dan harapan.

"Maukah kau menjadi pacarku?"

Lusi terkejut dan terdiam, grogi, dan malu karena semua orang yang berada di lobi melihat dia dan si Yamin yang aneh.

"Maaf, ya Min, gue ga bisa".

Ucapan inilah yang dia bayangkan sejak lama yang akan diucapkan oleh Lusi pada hari ini. Dan itu benar terjadi. Untuk itu, dia santai saja. Rupanya, rasa pesimisnya mampu menjadi penetral patah hati disaat-saat krusial seperti ini, dimana dia pertaruhkan semua harga diri demi seorang gadis pujaannya.

Yamin tertunduk, lalu bangkit berdiri.

"Kenapa? Apakah kamu sudah punya pacar?"

"Bukan karena itu, gue belum mau pacaran aja. Semua gue anggap teman, sorry ya, Min"

"Ok, tidak apa-apa, Lusi"

Dengan hati remuk dan kecewa, diraihnya kertas berisi puisi di tangan Lusi dan membawa bunga yang tidak sempat diberikan padanya, Yamin bergegas meninggalkan ruang pantry namun tegap tak terlihat sedih demi menjaga wibawa laki-laki seluruh dunia yang cintanya ditolak oleh gadis yang diyakini sebagai belahan jiwa.

Besok pagi, Yamin bangun dengan suasana hati santai seperti pagi tahun lalu saat sehari sebelumnya cintanya ditolak oleh Rini yang rupanya diam-diam sudah ada hubungan dengan teman dekatnya. Andai si Ari sebagai seorang teman, memberi tahu kedekatannya dengan si Rini, tak mungkin bagi Yamin berani menggoda kekasih temannya sendiri. 

Pagi yang cerah dengan keindahan kota Jakarta sepanjang perjalanan ke tempat kerja, hari itu bagi Yamin biasa saja. Masuk gerbang apartemen sambil menunduk, lalu sampai di ruang lobi dan melewati pantry dan harus melihat gadis pujaan yang sedang duduk di balik meja kerjanya dengan pulpen di tangannya, entah dia memang serius sedang menulis sesuatu atau mungkin pura-pura untuk menghindari bertatap pandang dengan Yamin karena merasa ga enakkan. 

"Andai tadi aku lewat lobi tower 2, oohh...  hatiku pedih menatapmu kecewa, Lusi" Lirih suara hati Yamin lebay.

 Duduk di belakang meja, melayani pengunjung gym dengan senyum dan sapa seperti biasanya, tanpa mereka tahu ada hati yang remuk namun tegar yang mereka ajak bicara di ruang gym itu.

Pukul 11 pagi, telepon kantor berdering.

"Good morning, health club, with me Yamin, can i help you?" 

"Yom, ini gue, Yani. Loe udah makan siang belum?"

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar