Warung kopi Sujira sering kali tidak ada pengunjung
akhir-akhir ini semenjak geng Yakuju mengacau di daerah itu. Bangku panjang yang
biasanya ramai oleh canda tawa para pecinta kopi yang sesekali mampir saat sore
hari, setelah hasil menambang serasa cukup untuk kebutuhan sehari, kini kosong. Hanya
seorang pemuda yang terlihat masih menikmati senja dengan kopi hitam spesial
warung kopi itu. Peringatan bagi yang melanggar aturan geng Yakuju akan disiksa
tanpa ampun, yang tertempel di dinding warung itu tidak dihiraukannya. Pemilik
warung kopi pun sudah mengingatkannya akan ancaman itu, namun ia tidak mau
pedulikan dan tak secuil pun ia merasa takut.
Senja kali ini sedikit berbeda dari hari-hari sebelumnya.
Cahaya emas di ufuk barat seakan ngumpat di balik awan seperti memberi tanda
akan sebuah sore yang ganas. Musik mengalun deras dari headset pemuda itu tanpa
peduli bahwa sudah ada beberapa orang di depannya menatap tajam dengan geraham
mengeram. Sebuat tongkat pemukul menancap keras di atas meja menggetarkan
cangkir kopinya dan hampir tumpah.
“Tidakkah kau tau bahwa tidak boleh ada seorang pun yang
boleh menginjakkan lagi kaki di daerah ini?” Pria itu lantang berteriak
mengancam.
Pemuda itu tidak menghiraukannya. Cangkir itu diangkatnya
lalu menyeruput tenang dan meletakkannya kembali. Pria di depannya makin geram,
dipukulnya cangkir itu dengan tongkat pemukulnya.
Pemuda itu berdiri sambil berteriak muram, “tidak ada yang
boleh mengganggu waktu minum kopiku”
BAMMM!!!!
Kepalan tangan kanan pemuda tepat mengenai rahang kiri pria itu
disertai ayunan kaki mengenai perut, lalu pria itu tersungkur di tanah. Melihat
temannya tidak bisa bangkit lagi, pria lain di belakangnya segera mengayun
sebuah tongkat kayu ke arah leher pemuda, seketika ia menunduk berbarengan
dengan memutar badan beriring kepalan tangan kanan deras menghantam perut.
BUKKK!!! BAMMMM!!!! Diikuti tangan kiri mendarat di muka,
satu lagi tersungkur.
Belum sempat menghindar, sebuah bangku panjang dari seorang
pria lain mengarah datar ke punggungnya dan hancur. Ia menoleh dengan mata
melotot dan geraham bergetar.
Auman keras, amarahnya memuncak, satu langkah jarak menyerang
ia ambil dengan cepat beriring dengan lontaran kaki kanannya mendarat keras di
perut pria itu.
BUUUKKK!!! Tiga kali jungkir ke belakang dari tenaga tendangan membuat pria itu
memuntahkan darah dari mulutnya.
Dua orang lagi menyerang berbarengan dari sisi kiri dan
kanan. Ia menyamping, memutar badan mendahului serangan lawannya dari sebelah
kiri, diikuti gerak cepat membalikan arah serangan ke sisi kanannya. Dua pria
itu masih menyerang, kali ini sebuah pisau dikeluarkan salah seorang dari saku,
lalu mengarahkannya cepat tepat di perut, namun, pemuda itu dengan sigap
menghindar ke samping diikuti pukulan ke lengan lawan dan pisau pun terlepas dari
tangan, tanpa menunggu lama sebuah ayunan lengan menempel di leher pria
tersebut.
UHUKKK!!! Dalam beberapa saat pria itu hampir tidak bisa
bernapas.
Pria satu lagi mengamuk, ia berteriak maju dengan sebuah
golok panjang.
SWIINGG!!! SWINGG!!
Dua kali sabetan golok bisa dihindari, tanpa henti sabetan
lain bersambutan.
BUUKKK!!!
Tanpa disadari, sebuah serangan balik dari ayunan datar golok
itu mengenai keras di perut, tidak berselang lama, lontaran lutut menghantam
tajam di muka pria itu.
Pemilik warung hanya bisa mengumpat di belakang mejanya dengan
badan gemetar, sambil menyaksikan kejadian itu tanpa bersuara.
Pemuda itu menghampirinya lalu bertanya. “Siapa mereka
semua?” Ia menoleh ke arah orang-orang yang dihajarnya yang masih terkapar tak
berdaya di tanah.
Dengan tubuh masih gemetar, pemilik warung itu keluar dari
persembunyiannya sambil terbata mengatakan “Mereka adalah kelompok geng Yakuju
yang hendak menguasai tambang emas ini.”
Pemilik warung itu masih heran, lalu bertanya balik “Siapakah
engkau wahai pemuda? Saya belum pernah melihatmu sebelumnya.”
Ia menoleh kembali ke
pemilik warung, “Aku hendak menuju perkebunan kopi di daerah ujung bukit sana,”
Ia menerangkan sambil menunjuk ke arah senja yang mulai redup.
“Oh, kebun kopi itu milik pengusaha terkenal dari Jepang. Ia
sudah puluhan tahun memiliki kebun itu.”
Pemuda itu hanya mengangguk. Dikeluarkannya bungkusan rokok
dari kantong celananya, lalu menyulutnya.
“Baiklah, saya akan segera ke sana menemui pengusaha dari
Jepang itu. Terimakasih untuk kopinya, lain kali saya akan mampir lagi.” Sebuah
senyuman unik ia sunggingkan sambil meletakkan dua lembar uang seratus ribuan di
atas meja.
“Semoga ini cukup untuk mengganti kerusakan ini.”
Pemilik warung itu tidak mengerti akan arti senyum aneh itu,
ia merasa sedikit heran dengan kenekatan pemuda itu yang katanya akan balik
lagi ke warungnya.
Pemuda itu mengambil ransel lalu pergi meninggalkan pemilik
warung kopi tersebut yang mulutnya masih menganga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar