Malam yang kelam diantara
rimbunan ketapang di sudut kota yang sepi, aku duduk menyendiri dalam selimut
dingin. Sebatang rokok masih tersisa sepertiga, terjepit erat diantara jari
manis. Gelas plastik kumiringkan enam puluh derajat supaya sisa-sisa kopi yang
terselip pada ampasnya terkumpul untuk seruput terakhir. Pohon tempatku
bersandar tak hendak mengusikku apalagi mengajakku ngobrol saat pandanganku
tertuju pada gerak-gerik lunglai pemulung kota yang mengumpulkan puing-puing
sampah berserakan yang rindu ditempatkan dalam wadah nyaman yang bernama tong
sampah.
Sedang di seberang mata berderet
gedung-gedung pencakar langit, entah siapakah pemiliknya, seperti apa rupanya,
bagaimana kesehariannya, adakah perbedaan yang mencolok antara aku dan dia,
lalu sebatas apa aku mampu bersaing atau bahkan bisa mengungguli kesuksesan
mereka? Apakah mungkin aku yang sebatang kara di kota besar ini bisa memiliki
salah satu dari bangunan mewah itu atas hasil usaha sebagai bukti kesuksesanku
di Jakarta?
Kualihkan topik imaji, kuarahkan
pandanganku pada seonggok besi di samping rumpun bugenville, ia berdiri lesu layaknya
kafilah tua yang tak kuasa lagi berjalan, dengan napas yang terengah-engah
seakan mengeluh padaku, “Tuan, sungguh
aku tak mampu lagi menemanimu menempuh jalan-jalan kota yang sumpek penuh
dengan polusi dan aroma sampah yang semakin membuatku asma. Aku sudah tua,
tiada daya lagi menjadi tungganganmu, tak segagah dulu, saat aku masih dirawat
dengan biaya tinggi oleh tuanku yang pertama. Aku tau, cita-citamu agung
seagung gunung-gunung di kampung halaman tuan, engkau setegar batu karang di
lautan, tak akan goyah meski ribuan skala ritcher sunami menghantamnya, semangatmu
laksana bara api saat terik di tengah gurun sahara, membara laksana neraka
dunia. Tapi aku, tersisa secuil harapan untuk bisa menyanggupkan diri
melayanimu sampai hembus napas terakhir.
Maka malam ini dengarlah pinta si tua
ini, antarkan aku pada tempat peristirahat terakhirku yang damai, di samping
istnamu yang meski pada kenyataan tak ubahnya gubuk reok, aku ingin kau
mengenangku sebagai kuda hitam teman seperjuanganmu, menjadi bukti sejarah
bahwa bersamaku kau telah menjajali sudut-sudut kota hingga lorong-lorong
tikus, memasuki basemen-basemen hingga pemukiman kumuh yang syarat akan ejekan
dari bocah-bocah tengik yang tidak mengerti apa itu motor antik.
Tuan. Sadarlah, bersamaku kau tak kan melaju secepat zaman, walaupun
sebenarnya aku layak untuk balapan. Engkau akan melihat bahwa langkahmu akan
terasa mundur, beban hidupmu akan semakin menanjak, cepat atau lambat engkau
akan tumbang. Sebab, engkau tahu kebutuhanku tidak sebanding penghasilanmu,
untuk bisa nyaman dan lancar mengendaraiku, engkau harus mengeluarkan dua kali
lebih banyak dari kebutuhan si 4 tak. Sebagaimana yang kau tahu juga, aku
mungkin hanya layak untuk dimiliki oleh mereka para broken homer golongan kaya. Tidak bermaksud melecehkanmu karena
inilah kenyataan, bahwa hanya mereka yang melampaui kebutuhannya yang mampu
memanjakanku dengan perhatian yang maksimal dalam merawat bahkan mendandaniku. Mereka,
dalam memanfaatkan bangsaku adalah untuk sebuah nilai seni, bukan digunakan
untuk keperluan karir seperti yang sedang engkau lakukan sekarang. Sekali lagi
tidak bermaksud mengejekmu, karena inilah realitanya.
Hamba sayang engkau wahai
tuan yang penyayang. Karena itulah aku rela engkau paksakan hampir setiap hari
membelah pulau, dari ujung timur ke ujung barat, dari perbatasan Jakarta Timur
sampai Tangerang Barat. Karena hamba sayang engkau, wahai tuan, aku rela bagian
pembuanganku dimasuki air ketika kau paksakan aku menyeberangi banjir. Aku
bukan mengeluh, tapi untuk menyadarkanmu bahwa meskipun terkadang aku sering
komplein dengan anggota tubuhku yang sakit, aku rela kau maki meski sebenarnya
engkau belum tahu keinginanku agar pulih. Karena engkau bukan seorang mekanik.
Tuan. Aku akui, meski dalam hal materi engkau belum terlalu bisa mencukupiku,
tapi dalam hal perhatian, engkau jagonya. Engkau rela basah-basahan hanya demi
menutupi tubuhku dengan raincoat-mu untuk melindungiku dari hujan.
Tuan….. Sungguh indah nama yang kau sematkan untukku, sebuah nama yang
kau ambil dari seorang gadis yang mengajarkanmu apa itu arti cinta untuk yang
pertama kalinya. Gadis remaja yang tuan katakan sebagai bunga desa namun tulus
mengungkapkan bahwa dia sungguh menyukaimu, meski kebanyakan teman cowokmu
bilang tuan tidak terlalu tampan untuk gadis secantik dia. Waktu itu tuan
cerita padaku, dia datang ke kampung tuan sekedar menjenguk neneknya. Tapi,
sebuah bukti menambah keyakinan tuan, si gadis belia itu demi melepas rindu
kepada tuan, ia rela meninggalkan rumahnya puluhan kilometer, malam-malam,
tanpa sepengetahuan bapak dan mama nya, walaupun sebenarnya belum sampai sehari
meninggalkanmu saat dia dijemput orang tuanya kembali ke kampungnya. Gadis itu,
yang tuan curhat padaku betapa telah meninggalkan bekas yang tak kan pernah
hilang hingga akhir hayat, kesan kuat yang kau sebut cinta pertama…
Tuan… Berapa pun kuatnya rasa yang kau simpan untuk gadis itu, sungguh
waktu tak bisa diajak kompromi pada akhirnya. Gadis belia yang kini telah
tumbuh dewasa, yang hendak kau jumpai setelah sampai kampung tuan pada liburan
tahun ini, justeru telah mendahului menghadap Sang Maha Kuasa. Tapi, bukan
bermaksud mengungkit dukanya tuan, tapi setidaknya sedikit saja tuan menyadari
bahwa setiap sesuatu, masing-masing telah ditentukan waktu mengabdinya. Itulah
yang hamba ingin agar tuan memahami bahwa hamba ingin menyusul si gadis belia
yang namanya sama dengan namaku. Biarlah aku menjadi sebuah kenangan yang akan
selalu tuan kenang bersama nama gadis belia cinta pertama tuan, Yenni….
Terimakasih untuk semuanya tuan….”
“Toottt…!!!” Suara klakson dari bus
DAMRI menghentakku dari lamunan. Pandanganku sayu menatap kembali seonggok
rongsokan bernilai budi itu.
“Yenni..” Bisikku lesu di malam
yang sendu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar