Hey, what's up??
Big day for you today, cause it's a present, bro'...


Senin, 13 Mei 2013

First Love.. First Scooter..



       Malam yang kelam diantara rimbunan ketapang di sudut kota yang sepi, aku duduk menyendiri dalam selimut dingin. Sebatang rokok masih tersisa sepertiga, terjepit erat diantara jari manis. Gelas plastik kumiringkan enam puluh derajat supaya sisa-sisa kopi yang terselip pada ampasnya terkumpul untuk seruput terakhir. Pohon tempatku bersandar tak hendak mengusikku apalagi mengajakku ngobrol saat pandanganku tertuju pada gerak-gerik lunglai pemulung kota yang mengumpulkan puing-puing sampah berserakan yang rindu ditempatkan dalam wadah nyaman yang bernama tong sampah.
       Sedang di seberang mata berderet gedung-gedung pencakar langit, entah siapakah pemiliknya, seperti apa rupanya, bagaimana kesehariannya, adakah perbedaan yang mencolok antara aku dan dia, lalu sebatas apa aku mampu bersaing atau bahkan bisa mengungguli kesuksesan mereka? Apakah mungkin aku yang sebatang kara di kota besar ini bisa memiliki salah satu dari bangunan mewah itu atas hasil usaha sebagai bukti kesuksesanku di Jakarta?
       Kualihkan topik imaji, kuarahkan pandanganku pada seonggok besi di samping rumpun bugenville, ia berdiri lesu layaknya kafilah tua yang tak kuasa lagi berjalan, dengan napas yang terengah-engah seakan mengeluh padaku, “Tuan, sungguh aku tak mampu lagi menemanimu menempuh jalan-jalan kota yang sumpek penuh dengan polusi dan aroma sampah yang semakin membuatku asma. Aku sudah tua, tiada daya lagi menjadi tungganganmu, tak segagah dulu, saat aku masih dirawat dengan biaya tinggi oleh tuanku yang pertama. Aku tau, cita-citamu agung seagung gunung-gunung di kampung halaman tuan, engkau setegar batu karang di lautan, tak akan goyah meski ribuan skala ritcher sunami menghantamnya, semangatmu laksana bara api saat terik di tengah gurun sahara, membara laksana neraka dunia. Tapi aku, tersisa secuil harapan untuk bisa menyanggupkan diri melayanimu sampai hembus napas terakhir. 
       Maka malam ini dengarlah pinta si tua ini, antarkan aku pada tempat peristirahat terakhirku yang damai, di samping istnamu yang meski pada kenyataan tak ubahnya gubuk reok, aku ingin kau mengenangku sebagai kuda hitam teman seperjuanganmu, menjadi bukti sejarah bahwa bersamaku kau telah menjajali sudut-sudut kota hingga lorong-lorong tikus, memasuki basemen-basemen hingga pemukiman kumuh yang syarat akan ejekan dari bocah-bocah tengik yang tidak mengerti apa itu motor antik.   
       Tuan. Sadarlah, bersamaku kau tak kan melaju secepat zaman, walaupun sebenarnya aku layak untuk balapan. Engkau akan melihat bahwa langkahmu akan terasa mundur, beban hidupmu akan semakin menanjak, cepat atau lambat engkau akan tumbang. Sebab, engkau tahu kebutuhanku tidak sebanding penghasilanmu, untuk bisa nyaman dan lancar mengendaraiku, engkau harus mengeluarkan dua kali lebih banyak dari kebutuhan si 4 tak. Sebagaimana yang kau tahu juga, aku mungkin hanya layak untuk dimiliki oleh mereka para broken homer golongan  kaya. Tidak bermaksud melecehkanmu karena inilah kenyataan, bahwa hanya mereka yang melampaui kebutuhannya yang mampu memanjakanku dengan perhatian yang maksimal dalam merawat bahkan mendandaniku. Mereka, dalam memanfaatkan bangsaku adalah untuk sebuah nilai seni, bukan digunakan untuk keperluan karir seperti yang sedang engkau lakukan sekarang. Sekali lagi tidak bermaksud mengejekmu, karena inilah realitanya. 
       Hamba sayang engkau wahai tuan yang penyayang. Karena itulah aku rela engkau paksakan hampir setiap hari membelah pulau, dari ujung timur ke ujung barat, dari perbatasan Jakarta Timur sampai Tangerang Barat. Karena hamba sayang engkau, wahai tuan, aku rela bagian pembuanganku dimasuki air ketika kau paksakan aku menyeberangi banjir. Aku bukan mengeluh, tapi untuk menyadarkanmu bahwa meskipun terkadang aku sering komplein dengan anggota tubuhku yang sakit, aku rela kau maki meski sebenarnya engkau belum tahu keinginanku agar pulih. Karena engkau bukan seorang mekanik.
       Tuan. Aku akui, meski dalam hal materi engkau belum terlalu bisa mencukupiku, tapi dalam hal perhatian, engkau jagonya. Engkau rela basah-basahan hanya demi menutupi tubuhku dengan raincoat-mu untuk melindungiku dari hujan.
       Tuan….. Sungguh indah nama yang kau sematkan untukku, sebuah nama yang kau ambil dari seorang gadis yang mengajarkanmu apa itu arti cinta untuk yang pertama kalinya. Gadis remaja yang tuan katakan sebagai bunga desa namun tulus mengungkapkan bahwa dia sungguh menyukaimu, meski kebanyakan teman cowokmu bilang tuan tidak terlalu tampan untuk gadis secantik dia. Waktu itu tuan cerita padaku, dia datang ke kampung tuan sekedar menjenguk neneknya. Tapi, sebuah bukti menambah keyakinan tuan, si gadis belia itu demi melepas rindu kepada tuan, ia rela meninggalkan rumahnya puluhan kilometer, malam-malam, tanpa sepengetahuan bapak dan mama nya, walaupun sebenarnya belum sampai sehari meninggalkanmu saat dia dijemput orang tuanya kembali ke kampungnya. Gadis itu, yang tuan curhat padaku betapa telah meninggalkan bekas yang tak kan pernah hilang hingga akhir hayat, kesan kuat yang kau sebut cinta pertama…
       Tuan… Berapa pun kuatnya rasa yang kau simpan untuk gadis itu, sungguh waktu tak bisa diajak kompromi pada akhirnya. Gadis belia yang kini telah tumbuh dewasa, yang hendak kau jumpai setelah sampai kampung tuan pada liburan tahun ini, justeru telah mendahului menghadap Sang Maha Kuasa. Tapi, bukan bermaksud mengungkit dukanya tuan, tapi setidaknya sedikit saja tuan menyadari bahwa setiap sesuatu, masing-masing telah ditentukan waktu mengabdinya. Itulah yang hamba ingin agar tuan memahami bahwa hamba ingin menyusul si gadis belia yang namanya sama dengan namaku. Biarlah aku menjadi sebuah kenangan yang akan selalu tuan kenang bersama nama gadis belia cinta pertama tuan, Yenni….
Terimakasih untuk semuanya tuan….”
       “Toottt…!!!” Suara klakson dari bus DAMRI menghentakku dari lamunan. Pandanganku sayu menatap kembali seonggok rongsokan bernilai budi itu.
       “Yenni..” Bisikku lesu di malam yang sendu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar